Ustadz di Bukam karena meminta keadilan atas haknya. Untuk memperjuangkan dakwah di Tanah Kaltim dari Sebuah Pesantren, di Batuah.
Berdasarkan Fakta dan data. Kejadian di Kukar, Loa Janan (Batuah)
Ustadz yang di jadikan tersangka Afrizal
Cerita Pendek dari Batuah
Bismillah, saya Afrizal. Saya dari Pondok Pesantren Imam Syafi’i, Batuah.
Saya di sana bukan cuma sekadar pengajar, tapi termasuk yang merintis pondok ini dari nol.
Bayangin aja, dari lahan kosong, penuh semak, panas terik, sampai akhirnya berdiri bangunan yang hari ini jadi tempat anak-anak belajar Al-Qur’an dan dakwah. Waktu itu, tahun 2016, kita mulai buka lahan. Ya, lahan itu HGU, luasnya lumayanlah, di atas satu hektar. Dari situlah perjalanan panjang ini dimulai.
Awalnya cuma ada beberapa santri, beberapa papan bangunan, dan segudang harapan. Tapi Alhamdulillah, dari situ Allah kasih jalan. Sekarang sudah berjalan kegiatan belajar, program Tahfidzul Qur’an dan Takribut Du’at. Belum formal, tapi sudah banyak anak yang datang menuntut ilmu.
Sampai di satu titik, ujian datang — tahun 2022. Ada perusahaan tambang datang, katanya mau sewa lahan pondok untuk akses jalan hauling.
Kita tolak. Tiga kali mereka datang, tiga kali juga kita bilang tidak.
Karena ya, gimana mau disewakan? Di situ sudah berdiri pondok, tempat anak-anak menghafal Qur’an, tempat kami hidup.
Tapi ya namanya dunia, kadang yang halus datangnya lewat orang dekat.
Pak Kepala Desa, Pak Abdul Rasid, datang ke rumah. Beliau bantu perusahaan buat negosiasi. Intinya, mereka tawarkan relokasi pondok ke lahan yang agak ke belakang. Katanya mereka siap bangunkan ulang, ukuran dan luasnya sama seperti pondok yang sekarang.
Ya sudah, demi kebaikan bersama, kita sepakatlah waktu itu.
Mereka juga janji mau bantu bangun jalan baru ke masjid, sekitar 400 meter jaraknya. Bahkan katanya mau sediakan kendaraan antar-jemput santri.
Kita pikir, oke, semoga amanah.

Perusahaan itu namanya WR, tapi ternyata di tengah jalan mereka dinyatakan wanprestasi.
Akhirnya muncul perusahaan baru, namanya MKP, katanya mereka yang ambil alih semua urusan WR — termasuk perjanjian sama pondok. Kita pikir, ya sudah, lanjut aja kalau niatnya baik.
Tapi ternyata janji tinggal janji.
Relokasi yang dijanjikan 6 bulan itu nggak pernah jadi.
Santri-santri akhirnya harus tidur di masjid.
Anak-anak terganggu, orang tua mulai ragu.
Berat banget masa itu.
Kita coba sabar, coba tagih baik-baik. Tapi tiap kali nanya, jawabannya cuma satu: “Nanti, insyaAllah segera.”
Berjalan terus sampai akhir 2023, akhirnya kita putuskan buat bikin kesepakatan resmi di notaris.
Tertulis jelas, mereka janji akan lunasi relokasi sesuai ketentuan yang disepakati.
Tapi ya, lagi-lagi cuma janji di atas kertas.
Akhirnya kita minta mediasi di kantor desa. Kita nggak mau marah, cuma mau kepastian.
Sampai akhirnya, mereka kasih jaminan: sertifikat tanah.
Tertulis di situ, kalau sampai 1 Maret 2024 nggak juga dibayar, maka sertifikat itu jadi milik pondok pesantren.
Dan ya, itu yang terjadi. Semua tertulis, semua disaksikan oleh Pak Kepala Desa Batuah sendiri.
Kadang saya mikir, perjuangan pondok ini bukan cuma soal bangun tembok dan genteng. Tapi tentang sabar, tentang yakin, tentang bagaimana tetap menjaga niat lillah, meski dunia kadang nggak seindah janji-janji manusia.
Penulis : Rendra
